
Pengusaha tekstil resah terhadap barang yang dijual dari hasil impor borongan dan tidak membayar pajak. Mereka juga menemukan beberapa bukti terkait aksi ilegal tersebut dan telah melanggar aturan di Indonesia.
Saking kesalnya, pengusaha meminta pemerintah pengusaha nakal, yang memasukkan barang impor ilegal dan palsu ke pasar domestik dibinasakan saja jika memang tak mau diperingatkan pemerintah. Hal itu disampaikan Ketua Bidang Perdagangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Anne Patricia Susanto dan Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Industri Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ian Syarif rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi VII DPR RI, Senin (28/4/2025), ditayangkan secara daring. Turut hadir perwakilan dari berbagai asosiasi pelaku industri, mulai dari industri tekstil dan produk tekstil (TPT), besi dan baja, kelapa sawit, hingga farmasi.
Ian Syarif mengatakan, barang-barang tekstil impor ilegal itu dijual dengan harga yang jauh lebih murah dari produk lokal. Barang-barang itu pun diduga tak membayar pajak seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan perpajakan lainnya.
“Kami dari industri tidak meminta perlakuan khusus atau adanya insentif, tetapi kami minta hal ilegal ini dapat dihentikan, karena bagaimana kami bisa bertahan. Kami bayar gaji pekerja, tapi tiba-tiba di pasar ada barang yang harganya 30% atau 20% lebih murah, karena tidak ada elemen PPN-nya atau perpajakan lainnya,” kata Ian.
Ian pun mencontohkan ada pakaian impor yang tidak sesuai dengan peraturan berlaku seperti label tidak berbahasa Indonesia, label hanya mencantumkan merek, dan lain-lainnya. Bahkan, barang-barang tersebut juga berstatus tiruan alias KW.
“Kami temui barang-barang impor yang ditemui di pasar, di mana banyak yang berlabel tidak menggunakan Bahasa Indonesia dan cenderung barang ‘KW’ (tiruan),” tambahnya.
Parahnya, perdagangan barang tekstil tersebut kini lebih terbuka karena adanya demand shock akibat banyak negara yang berpotensi tidak bisa melakukan ekspor ke Amerika Serikat (AS) efek perang tarif dan akan mencari pasar alternatif lain, di mana salah satunya Indonesia.
“Perdagangan ini bisa lebih transparan lagi karena ini salah satu bentuk dari demand shock yang nanti akan terjadi karena negara-negara sudah tidak bisa melakukan ekspor ke AS dan akan mencari pasar alternatif, di mana pasar yang sudah jadi ya Indonesia,” ujar Ian.
Adapun alasannya yakni karena Indonesia saat ini menjadi pasar barang tiruan yang cukup menjanjikan, terutama bagi Malaysia.
“Mengapa Indonesia? Ya karena saat ini menjadi pasar barang ‘KW’ cukup menjanjikan disini, apalagi bagi Malaysia, di mana Indonesia cukup menarik pasar barang tiruan,” ungkapnya.
Akibatnya, industri tekstil di Indonesia mengalami penurunan drastis. Untuk industri tekstil dari sebelumnya pada 2017 masih sebanyak 2.972 industri, pada 2022 tinggal mencapai 1.985 industri. Sedangkan industri pakaian jadi dari sebelumnya pada 2017 silam sebanyak 2.738, pada 2022 tinggal 2.027 industri.
“Dampak dari masifnya impor pakaian dan tiruan, terjadi penurunan dari ribuan industri tekstil dan pakaian. Juga utilisasi kami mengalami penurunan sebesar 55,3% untuk industri tekstil dan 66% untuk industri pakaian jadi,” ujarnya lagi.
Binasakan Pengusaha Nakal
Sementara itu, Anne Patricia Susanto mengatakan hal ini terjadi karena adanya pengaruh penerapan tarif AS.
Bahkan, beberapa negara yang sudah memiliki perjanjian dagang bebas (free trade agreement/FTA) dengan AS juga terkena kebijakan tarif, sehingga membuat negara-negara tersebut perlu mencari alternatif pasar. Anne menyebut ada Yordania, Honduras, Venezuela, dan Meksiko.
“Ada beberapa negara produksi yang terkena risiko tarif AS, tetapi ada juga negara yang sudah memiliki FTA, terkena kebijakan tarif AS,” kata Anne dalam paparannya.
Menurutnya, investor asing yang berinvestasi di industri tekstil Indonesia berbasis kapas (cotton base) akan pindah jika pemerintah tidak berhasil melakukan negosiasi tarif resiprokal.
“Sektor tekstil di Indonesia kan ada yang sintetik, ada yang cotton base, nah rata-rata yang simple cotton base berpotensi akan pindah ke beberapa negara itu jika tarif resiprokal ini tidak berhasil dinegosiasi oleh pemerintah RI,” tambah Anne.
Anne berharap kepada Komisi VII DPR RI untuk mendukung Langkah pemerintah alam memitigasi risiko perang tarif dan mendapatkan yang terbaik dibandingkan dengan negara lain seperti China, Vietnam, Kamboja, Bangladesh, India, dan Filipina.
“Kami meminta kepada DPR Komisi VII untuk mensupport pemerintah dalam hal memitigasi risiko tarif resiprokal di kemudian hari dan kita mendapatkan keuntungan yang terdepan dan terbaik dibandingkan dengan negara lain seperti China, Vietnam, Kamboja, Bangladesh, India, dan Filipina,” ungkapnya.
Terakhir, Anne meminta kepada pemerintah untuk memberikan dukungan lebih bagi pengusaha yang sudah patuh dan menindak pengusaha yang tidak patuh.
“Kami memohon kepada pemerintah kalau kita ingin berdaya saing lawan negara-negara tadi kita sebut, pengusaha yang sudah bantu mohon dibantu lebih, didukung lebih, dan kalau pengusaha yang tidak patuh perlu dibina lebih lagi, kalau tidak bisa dibina, mohon dibinasakan,” pungkas Anne.