Catatan Kritis Terhadap Danantara Indonesia

Danantara Indonesia. (CNBC Indonesia/Emir Yanwardhana)
Foto: Logo Danantara Indonesia. (CNBC Indonesia/Emir Yanwardhana)

Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto Djojohadikusumo meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau Danantara Indonesia di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (27/2/2025). Peluncuran dihadiri berbagai kalangan termasuk mantan presiden hingga pemimpin redaksi media massa.

Danantara merupakan superholding atau perusahaan induk yang mengendalikan berbagai perusahaan besar di sektor industri sekaligus manajer investasi dari tujuh BUMN untuk saat ini yaitu Bank Mandiri, Bank BRI, PLN, Pertamina, BNI, Telkom Indonesia, dan MIND, serta Indonesia Investment Authority (INA) yang didirikan oleh Presiden Joko Widodo. Dalam konteks ekonomi, superholding sering kali dibentuk oleh pemerintah untuk mengelola aset negara.

Berkaca dari holding BUMN yang telah dilakukan oleh Jokowi mulai dari holding BUMN Pertambangan, yaitu MIND ID pada tahun 2017, holding BUMN Migas, yaitu Pertamina Group pada tahun 2018, holding BUMN Farmasi pada tahun 2020, holding BUMN Perkebunan yaitu PalmCo & SugarCo pada tahun 2023, dan holding BUMN Pariwisata & Aviasi, yaitu InJourney yang didirikan pada tahun 2022.

Secara garis besar, holding-holding tersebut sukses dalam akuisisi strategis dan peningkatan efisiensi tetapi masih belum optimal dalam menghadapi tantangan besar khususnya dalam pengelolaan keuangan dan daya saing internasional.

Misalnya, holding BUMN Pertambangan masih menghadapi tantangan dalam meningkatkan efisiensi dan teknologi pengolahan, sementara holding BUMN Migas masih menghadapi masalah keuangan akibat subsidi BBM dan utang yang meningkat.

Sementara, holding BUMN Farmasi masih menghadapi tantangan dalam daya saing produk lokal dibandingkan impor dan holding BUMN Pariwisata dan Aviasi, yaitu belum mampu mengeluarkan Garuda Indonesia dari utang yang besar.

Oleh karena itu, tantangan terbesar dari kelima sektor tersebut masih berkutat pada tata kelola, utang yang besar dan persaingan global. Dan holding BUMN yang berfokus pada sumber daya alam seperti MIND ID dan PalmCo lebih stabil dibandingkan sektor energi dan investasi.

Hal pertama yang mengkhawatirkan dari superholding Danantara Indonesia menggabungkan empat karakteristik industri yang berbeda, yaitu industri perbankan, industri pertambangan, industri migas, dan industri teknologi dengan risiko bisnis yang jelas berbeda dan tantangan setiap industri yang berbeda.

Apakah memungkinkan perusahaan-perusahaan besar ini yang secara signifikan memiliki karakteristik industri yang berbeda bisa bersinergi secara optimal? Atau gabungan perusahaan dengan karakteristik industri yang terlalu berbeda secara signifikan akan melemahkan superholding karena perbedaan yang terlalu lebar.

Hal kedua yang menjadi catatan adalah meskipun Jokowi telah mendirikan Indonesia Investment Authority (INA), lembaga pengelola investasi milik negara yang didirikan pada tahun 2020 ini, sangat berbeda dengan Danantara Indonesia.

INA beroperasi secara independen dan tidak mengelola perusahaan-perusahaan secara langsung, sementara Danantara Indonesia yang baru saja diluncurkan dirancang untuk mengelola dan mengonsolidasikan aset-aset dari tujuh BUMN. INA juga lebih berperan sebagai pengelola portofolio investasi tanpa kepemilikan langsung atas perusahaan-perusahaan tersebut.

Hal ketiga yang menjadi keraguan banyak pihak terkait dengan Danantara Indonesia adalah terburu-buru untuk menciptakan superholding tanpa merancang mekanisme pengendalian internal yang memadai dan menganalisis efek pascaintegrasi akan menyebabkan kegagalan proyek besar tersebut.

Pemerintah harusnya mempertimbangkan bagaimana cara menangani efek negatif dari mengintegrasikan perusahaan dengan karakteristik yang berbeda. Dan pemerintah seharusnya mempertimbangkan ulang jika Danantara Indonesia justru mengalami dis-sinergi.

Hal keempat yang menjadi kekhawatiran banyak pihak adalah mengenai dana pihak ketiga milik depositor. Jika Danantara gagal, nasib depositor BNI, Bank Mandiri, dan BRI sangat tergantung pada bagaimana struktur keuangan dan perlindungan simpanan diatur.

Dalam konsep investasi, dana investasi merupakan dana lebih yang siap hilang kapan pun sehingga investasi tidak hanya mengantisipasi keuntungan tetapi juga kerugian atau kita katakan dana siap hilang. Jika Danantara Indonesia hanya gagal dalam pengelolaan aset atau mengalami kerugian investasi, simpanan deposan seharusnya tetap aman karena ketiga bank tersebut masih berdiri sebagai entitas terpisah dengan cadangan modal sendiri.

Namun, jika Danantara Indonesia menggunakan dana dari bank BUMN secara besar-besaran dan gagal, ada risiko bahwa profitabilitas dan likuiditas bank bisa terganggu. Saat ini, Lembaga Penjamin Simpanan hanya memberikan garansi simpanan sampai batas Rp 2 miliar per nasabah per bank sehingga depositor kecil terlindungi.

Namun, bagaimana dengan depositor bisnis UMKM yang memiliki dana terkait dengan penerimaan dan pembayaran gaji sejumlah pegawai di atas Rp 2 miliar? Siapa yang akan menanggung simpanan UMKM dan bisnis menengah di ketiga bank BUMN tersebut?

Maka langkah aman yang bisa diambil depositor secara umum adalah membatasi simpanan sampai Rp 2 miliar di masing-masing bank peserta Danantara Indonesia agar tetap dijamin oleh LPS dari risiko sistemik.

Hal kelima yang perlu menjadi perhatian kita semua adalah tata kelola. Kisah sukses superholding yang ada adalah Temasek dan kisah gagal superholding yang terbesar adalah skandal 1MDB yang terjadi di Malaysia.

Skandal 1MDB adalah salah satu kasus korupsi dan pencucian uang terbesar dalam sejarah dunia, yang melibatkan dana miliaran dolar yang dicuri dari 1Malaysia Development Berhad (1MDB), sebuah dana investasi milik negara Malaysia.

Awalnya 1MDB dibentuk oleh mantan Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak, sebagai dana investasi negara untuk pembangunan ekonomi. Dana ini awalnya bertujuan menarik investasi asing dan membiayai proyek infrastruktur.

Namun, dari tahun 2009-2015, terjadi penyelewengan dana sekitar US$4,5 miliar (sekitar Rp72 triliun) melalui transaksi keuangan yang kompleks. Uang ini dialihkan ke rekening pribadi pejabat tinggi dan digunakan untuk membeli properti mewah, karya seni, dan kapal pesiar.

Jho Low, seorang pengusaha Malaysia, berperan sebagai dalang di balik pencucian uang ini. Ia menggunakan jaringan global untuk menyalurkan dana ke berbagai negara seperti Swiss, AS, Singapura, dan UEA.

Oleh karena itu, jika secara desain melalui dipersulitnya pihak ketiga seperti BPK dan KPK mengaudit Danantara Indonesia, pengendalian internal dan pengawasan yang lemah terhadap dana investasi negara maka bisa membuka peluang korupsi besar-besaran.

Ditambah lagi kolaborasi global dalam pencucian uang dapat memperumit pelacakan dana yang dicuri. Kasus ini menjadi peringatan bagi negara lain agar lebih transparan dalam pengelolaan keuangan publik.

Struktur sektor BUMN Indonesia saat ini sudah kompleks. Sebagai akibat dari diversifikasi vertikal dan horizontal, banyak BUMN memiliki struktur kepemilikan piramida dengan banyak anak perusahaan.

Jumlah total anak perusahaan BUMN, yang sering disebut anak cucu, diperkirakan mencapai ratusan. Karena persyaratan untuk mengungkapkan informasi tentang anak perusahaan, yang secara teknis tidak diklasifikasikan sebagai BUMN, lemah, dan kapasitas pengawasan pemangku kepentingan terbatas, korupsi sering terjadi di anak perusahaan ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*