Meramal Kisah Trump 2.0 dengan China, ‘Gempa’ Ekonomi-Geger Geopolitik

Presiden AS Donald Trump, kiri, bertemu dengan Presiden China Xi Jinping selama pertemuan di sela-sela KTT G-20 di Osaka, Jepang. (AP Photo/Susan Walsh/File Foto)

Babak baru hubungan Amerika Serikat (AS) dengan China segera dimulai. Pelantikan Donald Trump sebagai orang nomor satu Negeri Paman Sam akan kembali membuka tabir ketegangan antar dua negara yang telah terbentuk sejak lama.

Trump mengancam untuk menaikkan tarif terhadap mitra dagang terbesar AS, dengan China berada di garis depan. Menjelang pelantikannya, Trump mengumumkan rencana untuk memberlakukan tambahan tarif sebesar 10 persen pada impor China, dengan alasan bahwa upaya Beijing dalam mengendalikan perdagangan fentanil masih kurang memadai.

Trump berulang kali menuduh China mencuri lapangan kerja dan industri AS serta memanfaatkan Amerika Serikat, yang mendorongnya mengancam kenaikan tarif hingga 60 persen atau lebih selama kampanye.

Selain itu, ada minat yang berkembang di Kongres untuk mencabut status tarif “permanent normal trade relations” (PNTR) China, yang didukung oleh Jamieson Greer, calon perwakilan perdagangan AS yang diusulkan Trump.

Negosiasi atau Decoupling?

Seiring dengan makin banyaknya ancaman tarif, tujuan akhir pemerintahan yang akan datang masih belum jelas. Apakah Trump dan sekutunya menggunakan ancaman ini untuk menarik China ke meja perundingan, atau lebih bertujuan untuk memisahkan ekonomi terbesar di dunia.

Dilansir Foreign Policy, Scott Bessent, calon menteri keuangan Trump, menyarankan bahwa tarif dapat menjadi alat negosiasi penting. Sebaliknya, Greer lebih menekankan pada pentingnya “strategi decoupling dari China,” meskipun hal ini dapat menyebabkan “rasa sakit jangka pendek.”

Perjanjian perdagangan fase satu antara AS dan China yang ditandatangani selama masa jabatan pertama Trump menjadi bukti dari hubungan dagang yang memanas. Trump menyebut perjanjian tersebut sebagai “sejarah” dalam memperbaiki kesalahan masa lalu.

Perjanjian itu mengharuskan China untuk membeli barang dan jasa AS senilai setidaknya US$200 miliar dalam dua tahun, memperkuat rezim kekayaan intelektual, mengurangi persyaratan transfer teknologi, dan menghentikan manipulasi mata uang.

Namun, China gagal memenuhi komitmen pembeliannya, meskipun mematuhi sebagian besar persyaratan lainnya. Perundingan fase dua yang seharusnya menangani masalah yang belum terselesaikan seperti subsidi, perusahaan milik negara, dan transfer data lintas batas tidak pernah terlaksana karena pandemi Covid-19 yang memperburuk ketegangan antara kedua negara.

Masa Depan Perdagangan AS-China

Enam tahun kemudian, tantangan untuk menegosiasikan perjanjian perdagangan baru menjadi makin berat. Kedua belah pihak telah memperluas pembatasan perdagangan dan teknologi sambil mengambil langkah-langkah untuk mengurangi ketergantungan mereka.

Beijing telah memperkuat peran negara dalam ekonominya dengan memberikan subsidi besar-besaran dan memperluas jangkauan perusahaan milik negara, serta membanjiri pasar luar negeri dengan kapasitas produksi yang berlebihan.

Trump, yang melihat dirinya sebagai pembuat kesepakatan, bersikeras bahwa ia memiliki keterampilan untuk mencapai apa yang sebelumnya tidak mungkin. Namun, dengan tantangan ekonomi yang dihadapi China, Beijing mungkin menyimpulkan bahwa kesepakatan dengan AS, meskipun dengan ketentuan yang tidak konvensional, lebih baik daripada mempertaruhkan hubungan dagang senilai US$600 miliar yang masih tersisa.

Lalu, apa yang sebaiknya harus diminta AS dari China?

Langkah pertama adalah meninjau kembali tuntutan awal Washington kepada Beijing selama perundingan fase satu dan mempertimbangkan untuk memasukkan beberapa permintaan tersebut kembali ke meja perundingan-atau memperbaruinya untuk 2025. Ini bisa mencakup perlindungan kekayaan intelektual yang lebih kuat, teknologi, dan transfer data lintas batas, serta menambahkan area fokus baru seperti komputasi awan.

Perjanjian baru juga harus berusaha untuk mengekang penggunaan subsidi oleh China dan menangani faktor-faktor yang menyebabkan produksi berlebih, seperti permintaan domestik yang terbatas. Namun, upaya ini mungkin tidak mudah diterima oleh Beijing.

Washington mungkin mempertimbangkan akomodasi yang bertujuan membatasi impor produk China yang tidak adil, dengan menetapkan batasan kuantitatif pada ekspor tertentu.

Kesepakatan yang hanya menangani aliran perdagangan antara AS dan China akan melewatkan pentingnya, mengingat banyak perusahaan China yang memindahkan operasinya ke Asia Tenggara, Meksiko, dan tempat lain untuk menghindari tarif AS.

Untuk menjadi tahan lama, perjanjian dengan Beijing harus mempertimbangkan investasi China yang berkembang di pasar negara ketiga, khususnya di sektor otomotif dan elektronik, serta memperkuat langkah-langkah anti-penyelundupan dan aturan asal yang lebih ketat.

Dilema Beijing

Komunitas strategis di China memiliki pandangan yang beragam tentang hubungan AS-China dalam 4 tahun mendatang, mulai dari pesimisme tragis hingga optimisme tinggi. Beberapa mengantisipasi hubungan bilateral akan mengalami penurunan tajam, sementara yang lain berharap Trump sebagai “pembuat kesepakatan” akan menjalin perjanjian dengan China terkait isu sensitif seperti Taiwan. Namun, kedua skenario tersebut dianggap tidak realistis.

Mengutip laporan Chatam House, pemerintah Partai Komunis China telah mengubah pendekatan ekonominya dalam beberapa bulan terakhir dengan mendorong konsumsi domestik. Sejumlah kebijakan, termasuk pelonggaran moneter, dukungan fiskal untuk pemerintah daerah yang terlilit utang, dan subsidi konsumen, telah diperkenalkan untuk merangsang perekonomian.

Namun, banyak ekonom menilai langkah-langkah tersebut masih terlalu lambat untuk meningkatkan kepercayaan konsumen yang sangat dibutuhkan.

Pembuat kebijakan China percaya bahwa mempercepat kemajuan teknologi dan mencapai swasembada adalah satu-satunya cara bagi CHina untuk bertahan dari upaya strategis AS yang membatasi. Namun, hal ini memerlukan pengalihan seluruh sumber daya nasional ke sektor strategis, dengan sedikit ruang untuk kebijakan fiskal dalam memberikan keringanan pajak dan stimulus konsumen.

Beijing pun menghadapi dilema antara memulihkan kepercayaan konsumen atau memperkuat keunggulan teknologinya.

Persiapan Perang Dagang Baru

Seperti halnya dunia lainnya, Beijing bersiap untuk menghadapi babak baru perang dagang dengan pemerintahan Trump yang akan datang. Mitra dagang utama China dan investor global bertanya-tanya sejauh mana China akan melancarkan pembalasan.

Taktik Beijing kemungkinan akan berbeda dari yang diterapkan pada masa jabatan pertama Trump, mengingat situasi makroekonomi China yang kurang kondusif untuk pembalasan yang lebih tegas di semua lini. Langkah-langkah hukuman kemungkinan akan menargetkan sektor-sektor seperti mineral kritis, di mana China memiliki monopoli global yang jelas.

Namun, China perlu menemukan keseimbangan yang tepat. Washington juga mampu memberlakukan kontrol ekspor yang sangat merugikan pada industri berteknologi tinggi seperti mesin penerbangan dan manufaktur chip warisan, atau mengeksploitasi keistimewaan luar biasa sebagai pemilik mata uang cadangan internasional, dolar AS.

Pembuat kebijakan China juga harus menyadari opini publik yang tidak menguntungkan terhadap AS dan akan berusaha menghindari persepsi lemah di mata rakyatnya.

Perubahan Kebijakan Luar Negeri China

Beberapa pergeseran dalam hubungan dengan negara-negara tetangga yang memiliki hubungan sulit dengan China, seperti India, Jepang, dan Korea Selatan, sudah mulai terlihat. Baik New Delhi maupun Tokyo, yang merupakan bagian dari Dialog Keamanan Kuadrilateral yang dipimpin AS, mulai melunak sikap dan pendekatan mereka terhadap China.

Sementara itu, Korea Selatan yang sedang dilanda krisis politik mungkin akan memiliki pendekatan yang berbeda terhadap China di bawah pemerintahan baru.

Negara-negara Global South, yang sebagian besar bersikap netral terhadap perang di Ukraina dan mendukung Palestina dalam konflik Timur Tengah, cenderung melihat Barat yang dipimpin AS sebagai hipokrit. Kembalinya Trump memberikan kesempatan bagi Beijing untuk memperkuat hubungannya dengan negara-negara Global South.

Selain itu, seringnya Trump berbicara tentang menarik dukungan untuk Ukraina menciptakan mimpi buruk bagi Eropa, tetapi juga membuka peluang bagi Trump dan Presiden China Xi Jinping untuk menjajaki opsi mengakhiri invasi Rusia ke Ukraina, meskipun opsi-opsi tersebut kemungkinan tidak sempurna di mata semua pihak.

Tujuan utama advokasi Beijing untuk mengakhiri perang di Ukraina adalah mencegah kemunduran yang terus-menerus dalam hubungannya dengan AS dan Eropa. Namun, upaya untuk membatasi kerusakan ini belum meyakinkan Washington atau ibu kota-ibu kota Eropa.

Penjelasan China justru memicu rasa ketidakpercayaan yang mendalam antara Beijing dan aliansi yang dipimpin AS.

Melihat ke depan, kembalinya Trump akan membawa drama terus-menerus dalam hubungan AS-China. Yang pasti, dalam 8 tahun terakhir, Beijing telah bertahan dari strategi pembatasan yang berkelanjutan di bawah kepresidenan Trump pertama dan pemerintahan Biden.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*