AS Tekor Terus, Meksiko Jadi Musuh Utama Perang Dagang Trump

Sederet Perintah Eksekutif Trump Usai Dilantik Jadi Presiden ke-47 AS

Perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China yang dimulai pada 2018 di bawah kepemimpinan Donald Trump menjadi salah satu konflik perdagangan paling menguras perhatian dalam sejarah modern. Konflik serupa dikhawatirkan kembali terulang di periode kedua Trump pada tahun ini.

Pada 2018, dengan penerapan tarif yang besar-besaran dan ancaman berkelanjutan dari kedua belah pihak, hubungan ekonomi antara kedua negara besar ini mengalami turbulensi yang jauh dari selesai meskipun berbagai kesepakatan damai telah dicapai.

Perang dagang yang dicanangkan oleh Presiden Donald Trump terhadap China pada 2018 bukanlah hal yang baru dalam sejarah hubungan perdagangan internasional.

Trump mengklaim bahwa China telah menguntungkan dirinya melalui praktik perdagangan yang tidak adil, menyebabkan defisit perdagangan yang besar bagi AS. Pemberlakuan kenaikan tarif impor karena defisit perdagangan AS dengan China terus membengkak.

Berbeda dengan kebijakan-kebijakan sebelumnya yang berfokus pada diplomasi ekonomi, Trump memilih jalur konfrontasi dengan mengenakan tarif terhadap produk-produk China, mulai dari baja dan aluminium hingga produk-produk teknologi canggih.

Ini adalah upaya untuk memaksa China mengubah kebijakan internalnya terkait pencurian kekayaan intelektual dan transfer teknologi yang tidak adil.

Tarif impor yang pertama kali diberlakukan pada Januari 2018 menandai dimulainya periode ketegangan baru. Tarif senilai US$60 miliar pun diumumkan, yang langsung dibalas oleh China dengan mengenakan tarif pada barang-barang AS.

Seiring berjalannya waktu, konflik ini semakin membesar dengan tarif tambahan yang dikenakan kedua negara. Pada 2019, AS bahkan mengancam untuk mengenakan tarif tambahan terhadap produk-produk China senilai US$300 miliar, sementara China juga meningkatkan tarif pada produk-produk AS.

Sejarah Perang Dagang AS-China, Dari Perang Tariff ke Tarik Ulur Perdagangan Global

Namun, perang dagang ini tidak dimulai oleh Trump. Sejarah ketegangan perdagangan antara AS dan China jauh lebih panjang.

Sebelum Trump mengambil langkah drastis pada 2018, keluhan tentang perdagangan tidak seimbang antara kedua negara sudah ada sejak lama.

Pada 2014, Trump sudah menyuarakan kekesalannya melalui media sosial, menegaskan bahwa China bukan teman baik AS dan bahwa praktik perdagangan negara itu merugikan AS. Bahkan dalam kampanye presiden 2016, China menjadi isu utama yang digunakan Trump untuk menarik perhatian pemilih.

Namun, kesulitan dalam menyelesaikan perselisihan ini telah terjadi sejak dekade-dekade sebelumnya. AS kerap mengeluhkan China tentang masalah-masalah seperti subsidi negara untuk industri-industri tertentu, manipulasi mata uang, dan kebijakan perdagangan yang tidak transparan.

Pada 2001, setelah China bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), ada harapan bahwa China akan mengikuti aturan-aturan perdagangan internasional. Sayangnya, banyak yang merasa bahwa China tidak sepenuhnya mematuhi prinsip-prinsip ini, yang kemudian menjadi bahan bakar ketegangan.

Ketika Trump memulai perang tarifnya, dampaknya tidak hanya terasa di AS dan China. Konflik ini memengaruhi pasar global, mengubah rantai pasokan internasional, dan membuat harga barang-barang konsumen melonjak. Sektor-sektor seperti pertanian, otomotif, dan teknologi di AS menjadi sasaran utama dari kebijakan tarif tersebut.

Petani AS, misalnya, merasakan dampak berat dari tarif yang diterapkan oleh China terhadap produk-produk pertanian AS yang bernilai miliaran dolar. Begitu juga dengan industri teknologi yang mengandalkan pasokan komponen dari China.

Selain itu, ada juga dampak yang lebih luas terhadap ekonomi global. Negara-negara yang terhubung erat dalam perdagangan dengan kedua negara besar ini, seperti Jepang dan negara-negara Uni Eropa, juga merasakan dampak.

Dampak ke RI

Indonesia juga dapat terdampak atas kebijakan tarif Trump. Jika tarif ini tidak berjalan dengan baik atau berdampak buruk bagi banyak negara di dunia, maka ekonomi Indonesia berpotensi terkena imbasnya dan akan mengalami kesulitan. Pasalnya ekspor barang Indonesia ke China maupun yang langsung ke AS akan menjadi semakin mahal.

Sebagai catatan, ekspor Indonesia ke AS melonjak 15,3% di era Trump dari US$16,14 miliar pada 2016 menjadi US$18,62 miliar pada akhir 2020. Kenaikan ini lebih tinggi dibandingkan empat tahun terakhir era Barack Obama yang hanya naik 8,52%.

Secara otomatis, jika barang yang diekspor Indonesia ke China, AS, maupun negara lainnya menjadi lebih mahal dari saat ini, maka barang-barang Indonesia berpotensi tidak laku di pasar internasional dan salah satu caranya untuk mengantisipasi hal ini yakni dengan mendevaluasi nilai tukar rupiah.

Apabila hal tersebut dilakukan, maka perusahaan-perusahaan di Indonesia yang memiliki utang dalam bentuk dolar AS akan semakin terbebani dan memperburuk neraca keuangan perusahaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*